Disharmoni Norma dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2023 terhadap Prinsip Keadilan Substantif di Pengadilan Agama
Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2023 menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Perceraian.
Tujuan SEMA ini sejatinya untuk memperkuat prinsip “mempersulit perceraian” sebagai bentuk perlindungan terhadap keutuhan rumah tangga. Hakim diminta tidak serta-merta mengabulkan perceraian, terutama bila masih ada peluang bagi suami istri untuk rukun kembali.
Namun, dalam praktiknya, ketentuan tersebut justru menimbulkan ketegangan antara kepastian norma dan keadilan substantif. Tidak sedikit pihak, terutama istri korban kekerasan atau penelantaran, justru mengalami kesulitan memperoleh keadilan karena proses perceraian dianggap belum memenuhi syarat formal tertentu.
Antara Norma dan Nurani
Dalam hukum Islam, perceraian (ṭalāq) memang sesuatu yang halal, namun sangat dibenci Allah. Hadis Nabi Muhammad SAW menegaskan:
“Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Dawud).
Namun, Islam juga mengakui bahwa dalam kondisi tertentu — seperti kekerasan, perselisihan berkepanjangan, atau pengkhianatan — perceraian adalah jalan terbaik. Di sinilah letak tantangan: bagaimana menyeimbangkan antara menjaga rumah tangga dan memberi keadilan bagi pihak yang teraniaya.
Ketika hakim terlalu terikat pada SEMA secara tekstual, nilai keadilan substantif berpotensi terabaikan. Padahal Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan:
“Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Artinya, hukum tidak boleh berhenti pada teks administratif, tetapi harus berpihak pada nilai kemanusiaan dan keadilan yang nyata.
Kritik terhadap Disharmoni Norma
Secara yuridis, SEMA No. 3 Tahun 2023 bersifat administratif — bukan sumber hukum formal setingkat undang-undang. Namun dalam praktik, ia sering menjadi dasar pertimbangan yang mengikat bagi hakim di Pengadilan Agama.
Hal ini menimbulkan disharmoni norma, karena SEMA justru berpotensi membatasi hak warga negara untuk memperoleh keadilan yang cepat dan sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009.
Lebih jauh lagi, Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa perceraian dapat dilakukan bila ada alasan kuat bahwa suami istri tidak dapat hidup rukun. Artinya, hukum tidak mensyaratkan masa pisah tertentu atau mediasi berulang-ulang, seperti yang kadang dipahami dalam pelaksanaan SEMA No. 3 Tahun 2023.
Di sinilah letak ketidakharmonisannya: SEMA seolah menambah syarat baru yang tidak ada dalam undang-undang.
---
Keadilan Substantif Harus Didahulukan
Keadilan substantif adalah keadilan yang hidup — bukan sekadar keadilan formal di atas kertas. Dalam konteks perceraian, hakim harus menilai secara mendalam kondisi sosial dan psikologis para pihak, bukan sekadar menilai prosedur.
Filsuf hukum Gustav Radbruch pernah menyatakan bahwa ketika terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum, **keadilan harus diutamakan.**⁴
Hukum progresif ala Satjipto Rahardjo juga menekankan bahwa hakim tidak boleh menjadi “corong undang-undang”, tetapi penjaga nurani keadilan masyarakat.⁵
Dengan demikian, penerapan SEMA No. 3 Tahun 2023 hendaknya tidak dimaknai secara kaku. Hakim perlu menafsirkan secara kontekstual — apakah mempertahankan rumah tangga masih sejalan dengan nilai kemanusiaan, atau justru memperpanjang penderitaan salah satu pihak.
Sebagai penutup Menjaga keutuhan rumah tangga memang penting, tetapi keadilan yang sejati tidak boleh dikorbankan atas nama formalitas. Ketika norma administratif seperti SEMA berpotensi menghambat akses keadilan, maka diperlukan penafsiran yang lebih manusiawi.
Hukum bukan hanya alat ketertiban, tetapi juga wadah bagi rasa keadilan yang hidup di hati manusia. Sebab pada akhirnya, hukum tanpa keadilan hanyalah kekuasaan tanpa nurani.