Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dua Buruh Sawit di Kuansing Dituntut 9 Bulan Penjara karena Bekerja di Kawasan Hutan HPT

Dua Buruh Pekerja FAAZI alias PAK IPE (37) dan FAATULO (21) pekerja yang di dakwa menduduki kawasan hutan HPT di kuansing. — Foto:Tim Kabar Kuansing
KUANTAN SINGINGI — Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Kuantan Singingi menuntut dua orang buruh perkebunan sawit, yakni Faazi alias Pak Ipe dan Faatulo, dengan pidana penjara selama 9 bulan serta pidana denda sebesar Rp100 juta. Apabila denda tersebut tidak dibayarkan, keduanya diancam dengan pidana kurungan selama 3 bulan sebagai pengganti.

Keduanya didakwa telah menduduki dan melakukan aktivitas dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang berlokasi di wilayah Pangkalan Indarung, Kabupaten Kuantan Singingi. Namun, berdasarkan pemeriksaan yang terungkap dalam persidangan, Faazi dan Faatulo diketahui hanyalah pekerja harian yang dipekerjakan seorang pria bernama Rian, yang saat ini telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). sebelum kedua terdakwa bekerja di kebun sawit tersebut, kawasan hutan tersebut telah beralih fungsi menjadi kebun sawit yang tidak diketahui siapa pemiliknya.


Rian(DPO)memperkerjakan kedua terdakwa untuk membersihkan lahan yang telah ditanami kelapa sawit. Namun, para terdakwa tidak mengetahui bahwa lokasi kerja mereka berada dalam kawasan hutan HPT. Hal ini diperparah oleh kenyataan bahwa keduanya tidak memperoleh informasi apapun dari pemberi kerja mengenai status hukum lahan tersebut. Selain itu, keterbatasan dalam berbahasa Indonesia serta ketidakmampuan membaca dan menulis turut menjadi kendala dalam memahami situasi hukum yang mereka hadapi. 

Kondisi sosial ekonomi kedua terdakwa juga memprihatinkan. Faazi diketahui menjadi tulang punggung keluarga dengan satu istri dan enam anak yang masih berusia sekolah. Sementara Faatulo, yang merupakan saudara kandung Faazi, juga menanggung beban keluarga dengan satu istri dan lima anak. Penahanan terhadap keduanya mengakibatkan anak-anak mereka terpaksa putus sekolah karena tidak lagi memiliki sumber penghidupan.

Kasus ini menyoroti perlunya pendekatan hukum yang mempertimbangkan aspek keadilan sosial, terutama bagi kelompok rentan seperti buruh kecil yang bekerja tanpa pengetahuan hukum dan berada dalam tekanan ekonomi. Sementara pihak utama yang memperkerjakan mereka hingga saat ini belum berhasil ditangkap.

Proses persidangan kedua buruh pekerja tersebut masih berlanjut di pengadilan negeri teluk kuantan dan vonis akhir dari majelis hakim akan menentukan nasib hukum kedua terdakwa. (Na)*