Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Benarkah Vape Lebih Aman dari Rokok? Ini Fakta Medisnya!

Ilustrasi

Teluk Kuantan — Di tengah era digital dan inovasi teknologi yang berkembang pesat, gaya hidup masyarakat pun ikut berubah. Salah satu yang mencolok adalah pergeseran dari rokok konvensional ke rokok elektrik atau vape. Tren ini digandrungi terutama oleh kalangan muda yang menganggap vaping sebagai pilihan “lebih bersih dan modern” dibanding rokok tembakau.

Namun, benarkah vape lebih aman? Fakta ilmiah menunjukkan bahwa rokok elektrik bukan tanpa risiko, dan bisa menimbulkan dampak serius bagi kesehatan, terutama jika digunakan jangka panjang.

Vape, Asap Modern yang Sarat Risiko

Vape atau rokok elektrik bekerja dengan cara memanaskan cairan yang mengandung nikotin, pelarut, dan perasa hingga berubah menjadi uap yang kemudian dihirup. Tidak menghasilkan asap seperti rokok biasa, vape justru mengeluarkan uap aromatik yang dianggap lebih “ramah” bagi lingkungan sekitar.

Namun, persepsi ini sering kali menyesatkan. “Meskipun tampak tidak berasap, cairan vape mengandung zat kimia berbahaya yang bisa berdampak pada paru-paru dan sistem tubuh lainnya,” jelas seorang ahli dari Kementerian Kesehatan RI melalui laman resmi Ayosehat.

Bahaya Tersembunyi di Balik Uap

Salah satu zat berbahaya yang sering ditemukan dalam cairan vape adalah diacetyl, senyawa perasa yang dikaitkan dengan penyakit paru serius seperti bronchiolitis obliterans, atau yang dikenal sebagai "popcorn lung". Selain itu, proses pemanasan cairan vape juga dapat menghasilkan formaldehida, zat bersifat karsinogenik yang berpotensi memicu kanker.

Meski jumlah zat berbahaya tersebut lebih rendah dibanding rokok konvensional, para ahli menegaskan bahwa risikonya tetap nyata, terlebih bila digunakan dalam jangka panjang.

Ancaman untuk Remaja

Vaping kini menjadi tren di kalangan remaja. Tidak sedikit pelajar yang sudah mencoba vape karena kemasannya menarik dan rasa yang beragam. Padahal, nikotin yang terkandung dalam cairan vape dapat mengganggu perkembangan otak remaja dan menyebabkan ketergantungan.

“Remaja yang terbiasa vaping berisiko lebih tinggi untuk menjadi perokok tembakau di masa depan. Ini menjadi kekhawatiran serius dalam konteks kesehatan masyarakat,” tulis Ayosehat dalam salah satu artikelnya.

Jantung, Paru, hingga Kesehatan Mental Terpengaruh

Selain berpengaruh pada paru-paru, penggunaan vape juga berdampak pada kesehatan jantung. Nikotin dalam vape dapat meningkatkan detak jantung dan tekanan darah. Penelitian menunjukkan bahwa vaping memicu peradangan dalam tubuh, yang berdampak pada sistem kardiovaskular.

Tak hanya itu, masalah kesehatan mental juga bisa muncul. Ketergantungan nikotin diketahui menyebabkan gangguan suasana hati, kecemasan, bahkan kesulitan konsentrasi. Gejala ini sering muncul saat pengguna berhenti vaping, menandakan adanya efek adiktif yang kuat.

Produk Bebas Regulasi, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah minimnya pengawasan terhadap kualitas produk vape yang beredar di pasaran. Banyak cairan vape diproduksi tanpa standar yang ketat, sehingga konsumen tidak benar-benar tahu zat apa saja yang mereka hirup.

Kondisi ini membuat pemerintah didorong untuk memperketat regulasi, baik dalam produksi, peredaran, hingga penjualan vape, terutama terhadap remaja dan anak-anak.

Langkah Bijak: Jangan Asal Ikut Tren

Meski ada klaim bahwa vaping bisa menjadi alat bantu berhenti merokok, para pakar mengingatkan bahwa hal ini tidak berlaku untuk semua orang dan tetap membutuhkan pengawasan medis.

“Pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Bila belum merokok, jangan coba-coba vaping. Bila ingin berhenti, konsultasikan dengan tenaga kesehatan untuk metode yang aman dan terbukti,” tegas Kementerian Kesehatan RI.

Vape mungkin tampak modern dan tidak seberbahaya rokok tembakau, tapi uap wangi itu menyimpan risiko kesehatan yang nyata. Masyarakat, khususnya generasi muda, perlu mendapat edukasi yang benar tentang bahaya vaping, agar tidak terjebak dalam tren yang justru merusak masa depan mereka. (Sumber: ayosehat.kemkes.go.id)