Dua Buruh Sawit di Kuansing Dituntut 9 Bulan Penjara, Agus Margodono: Mereka Bukan Pelaku Utama
Kedua terdakwa didakwa karena melakukan aktivitas di dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) di wilayah Pangkalan Indarung, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau. Mereka disebut telah bekerja di kebun kelapa sawit yang berdiri di atas lahan tersebut, tanpa izin yang sah.
Namun fakta persidangan menunjukkan bahwa keduanya hanyalah pekerja harian yang dipekerjakan oleh seorang pria bernama Rian, yang kini berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO). Rian diketahui menyuruh Faazi Laia dan Faatulo Laia untuk membersihkan semak belukar di lahan kebun sawit tanpa memberi tahu bahwa area tersebut merupakan kawasan hutan Produksi Terbatas (HPT).
Kasus ini viral di media sosial tiktok dengan jumlah viewer hampir 8000 penonton, akan tetapi, Hingga kini, pemilik kebun sawit yang berdiri di atas lahan tersebut belum berhasil diidentifikasi. Peran Rian yang belum tertangkap menambah kerumitan dalam proses hukum kasus ini.
Kondisi Ekonomi dan Sosial yang Memprihatinkan:
Faazi Laia dan Faatulo Laia merupakan kakak beradik dari keluarga kurang mampu. Faazi menghidupi satu istri dan enam anak, sedangkan Faatulo menanggung beban keluarga dengan istri dan lima anak. Sejak penahanan dilakukan, anak-anak mereka tidak lagi bisa bersekolah karena kehilangan sumber penghidupan utama.
Keduanya juga memiliki keterbatasan kemampuan dalam membaca, menulis, serta memahami bahasa Indonesia, yang menyebabkan mereka tidak menyadari status hukum dari lokasi kerja mereka.
Dalam upaya mendapatkan keadilan, kedua terdakwa telah mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma (Pro Bono) dari Kantor Hukum H. Agus Margodono & Partner, Agus mengatakan bahwa Bantuan Hukum ini diberikan sebagai bentuk kepedulian terhadap buruh kecil yang terjerat persoalan hukum.
Selanjutnya Kuasa hukum kedua terdakwa Agus Margodono, menyatakan bahwa kliennya bukan pelaku utama dalam perkara ini:
“Fakta di persidangan menunjukkan bahwa klien kami hanya bekerja sebagai buruh. Mereka tidak pernah diberi tahu bahwa lokasi tersebut masuk kawasan hutan Produksi Terbatas (HPT). Tindakan hukum seharusnya diarahkan kepada pihak yang mempekerjakan dan pemilik lahan,” ujar Agus kepada kabar kuansing, Kamis (10/7/2025).
Pihaknya berharap majelis hakim nantinya dapat mempertimbangkan keadaan aspek sosial, ekonomi, dan kesadaran hukum yang rendah dari kedua terdakwa dalam menjatuhkan putusan nantinya.
“Kami mendampingi mereka bukan hanya sebagai bentuk tanggung jawab profesi kami selaku Advokat, tapi juga sebagai upaya untuk memastikan bahwa hukum dapat ditegakkan dan di wujudkan sebagaimana khitah hukum itu sendiri”, tegasnya.
Sidang perkara ini akan dilanjutkan pada pekan depan Rabu , (16/7/2025) dengan agenda persidangan pembacaan putusan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Teluk Kuantan. (rz)*