Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketegasan Tanpa Kekerasan: Perspektif Hukum dan Pendidikan

PEKANBARU — Kasus seorang guru yang menampar murid karena kedapatan merokok di lingkungan sekolah beberapa waktu yang lalu menjadi sorotan masyarakat. Tindakan itu memicu reaksi keras dari berbagai kalangan Mayarakat baik dari para siswa dan orang tua yang menilai bahwa pihak murid yang salah dan ada yang membenarkan pihak guru. Namun, di sisi lain, banyak pihak juga memahami bahwa sang guru tidak bertindak karena kebencian, melainkan karena ingin menegakkan disiplin di sekolah.

Di tengah polemik ini, praktisi hukum H. Agus Margodono memberikan pengalaman dan pandangan hukum terkait penyelesaian perkara yang pernah dilakukannya tersebut pada tahun 2020 yang lalu. Ia tidak sekadar melihat kasus ini dari sisi pelanggaran hukum, tetapi dari perspektif pembinaan moral, etika profesi, dan perlindungan terhadap wibawa pendidik.

Pendekatan Hukum yang Berkeadilan dan Proporsional

Menurut H. Agus , dalam setiap perkara hukum, hal pertama yang harus dilakukan adalah melihat konteks dan niat dari perbuatan tersebut. Dalam kasus ini, jelas bahwa guru melakukan tindakan yang salah karena menampar murid. Namun, motifnya bukan untuk mencederai, melainkan untuk menegur siswa yang melanggar tata tertib sekolah.

 “Kita harus menegakkan aturan dengan hati nurani. Tindakan kekerasan memang tidak bisa dibenarkan, tetapi niat mendidik tidak boleh dipadamkan hanya karena satu kesalahan yang terjadi secara spontan,” ujar Agus.

Sebagai praktisi hukum  yang juga alumni pondok pesantren ini menekankan asas proporsionalitas dalam penegakan aturan. Artinya, hukuman harus seimbang dengan kesalahan dan mempertimbangkan tujuan dari tindakan tersebut. Dalam pandangannya, guru tidak layak dijatuhi hukuman berat atau diberhentikan dari tugasnya, melainkan perlu mendapatkan pembinaan dan pelatihan etika profesi.

Upaya Restoratif: Menyatukan Guru dan Murid

Dalam menyelesaikan perkara guru yang menampar murid karena kedapatan merokok, alumni fakultas hukum yang pernah kuliah di fakuktas tarbiyah dan keguruan ini berbagi pengalaman dalam menangani perkara tersebut, ia dalam menyelesaiakan permasalahan tersebut justru tidak menggunakan jalur hukum yang kaku. Saat itu ia mendorong pendekatan keadilan restoratif (restorative justice), yaitu penyelesaian konflik dengan cara mempertemukan pihak-pihak yang terlibat untuk saling berdialog dan memahami.

“Sekolah adalah ruang pendidikan, bukan pengadilan. Masalah antara guru dan murid seharusnya diselesaikan dengan pembinaan, bukan dengan penghukuman,” tegasnya.

Saat itu atas inisiatifnya, dilakukan pertemuan antara guru, murid, orang tua, dan pihak sekolah. Dalam pertemuan tersebut, guru menyampaikan permohonan maaf atas tindakan yang dianggap berlebihan, sementara murid juga mengakui kesalahannya karena telah melanggar tata tertib dengan merokok di sekolah.

Melalui proses dialog ini, keduanya saling memaafkan dan sepakat untuk memperbaiki diri. Sekolah pun menyusun ulang aturan disiplin agar penegakan tata tertib dilakukan tanpa kekerasan, dan pendekatan pembinaan lebih diutamakan daripada hukuman fisik.

Peran Kepala Sekolah dan Komite Pendidikan

Dalam proses penyelesaian, H. Agus juga melibatkan kepala sekolah dan komite pendidikan sebagai pihak penengah. Ia menegaskan bahwa sistem pendidikan harus memiliki mekanisme penyelesaian internal agar konflik semacam ini tidak langsung melebar ke ranah hukum atau media sosial.

“Tugas kepala sekolah adalah melindungi guru dan murid sekaligus. Kepala sekolah tidak boleh berpihak, tetapi harus memastikan setiap masalah diselesaikan dengan prinsip keadilan dan pembelajaran,” jelasnya.

Ia juga merekomendasikan agar sekolah membentuk dewan kode etik sekolah serta mengadakan pelatihan etika profesi dan manajemen emosi bagi para guru, serta pendidikan karakter bagi murid, agar kedua pihak dapat saling menghormati dan menjaga hubungan harmonis.

Pendidikan Tanpa Kekerasan, Disiplin Tanpa Emosi

Agus menerangkan bahwa tantangan dunia pendidikan modern itu sangat berat karena tugas guru adalah bagaimana menegakkan disiplin tanpa kekerasan. Guru tetap harus tegas, tetapi tidak boleh bertindak dengan emosi. Sebaliknya, siswa harus belajar bahwa kebebasan di sekolah bukan berarti bebas dari tanggung jawab.

“Guru dan murid harus tumbuh bersama dalam budaya saling menghargai. Pendidikan bukan soal siapa yang berkuasa, tetapi siapa yang mampu menjadi teladan,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa sistem hukum atau aturan di sekolah harus bersifat mendidik (educational justice), bukan menghukum. Dengan pendekatan ini, setiap pelanggaran bisa menjadi proses belajar, bukan sekadar alasan untuk memberikan sanksi.

Melalui pendekatan tersebut, ia pada waktu itu berhasil membantu menyelesaikan perkara ini tanpa konflik berkepanjangan. Tidak ada pihak yang dirugikan, dan yang terpenting, proses ini justru menjadi pelajaran berharga bagi sekolah tersebut.

“Keadilan sejati dilingkungan sekolah bukan hanya menegakkan aturan, tetapi juga memulihkan hubungan manusia. Guru dan murid sama-sama perlu belajar dari kejadian ini,” tutup H. Agus.